Monday, May 1, 2017

Resume Situasi Sosial Dua Komunitas Desa Di Sulawesi Selatan



Situasi Sosial Dua Komunitas Desa Di Sulawesi Selatan
Oleh : Mochtar Buchori dan Wiladi Budiharga

Terdapat lima golongan masyarakat yang menempati tiga lapisan pokok di komunitas Maricaya Selatan. Pertama golongan pejabat dan kelompok profesional di lapisan atas, kedua golongan alim ulama, pegawai, dan golongan pedagang di lapisan menengah dan ketiga golongan buruh di lapisan terbawah. Masyarakat Maricaya Selatan bersifat heterogen dan cukup berlapis-lapis, namun penduduk dari golongan mayoritas cukup terbuka untuk membentuk pola pergaulan dengan penduduk minoritas. Dilihat dari segi ekonomi dalam masyarakat Maricaya Selatan tedapat tiga lapisan masyarakat, yaitu lapisan ekonomi mampu, terdiri atas para pejabat, para dokter, para insinyur dan kelompok professional lainnya; lapisan ekonomi menengah terdiri dari alim ulama, pegawai, kelompok kewirausaha; lapisan ekonomi miskin yang terdiri dari para buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik dll.
Semenjak tahun 1990 di Jawa semakin meningkat perbedaan profesi, bertambah meluasnya ekonomi uang dan hubungan dengan barat memunculkan lapangan kerja baru sehingga timbul kelompok baru yang naik sampai ke tingkat atas karena kemampuan teknis. Latar belakang ekonomi masyarakat Maricaya  juga menyebabkan adanya perbedaan latar belakang pendidikan di setiap lapisannya. Latar belakang pendidikan lapisan atas secara keseluruhan adalah orang-orang yang mendapat pendidikan di perguruan tinggi.
Tidak jauh berbeda dengan masyarakat Maricaya, stratifikasi masyarakat Polewali terbagi menjadi tiga bagian. Lapisan atas terdiri dari ulama, pemangku adat, dan pejabat. Lapisan menengah terdiri atas pedagang, lapisan bawah terdiri dari para buruh. Kedudukan pemangku adat dipegang oleh seorang Bugis, sedangkan alim ulama ada ditangan orang Bugis dan Mandar. Kelompok pedagang diisi oleh orang Bugis, Jawa dan Cina. Sedangkan dalam kelompok buruh terdapat orang Jawa, Makassar dan Toraja. Masyarakat Poleweli pada dasarnya merupakan masyarakat yang lugas mengisi kehidupan mereka sehari-hari dengan berbagai usaha untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yangt terdapat dalam lingkungan mereka. Pada tahap perkembangan seperti ini Masyarakat Poleweli berada pada tahap Inward looking. Yang tampaknya merupakan perkecualian dalam hal ini ialah golongan pejabat setempat.

Resume Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan dan Alam Produksi



Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan dan Alam Produksi
Oleh : Djuhendi Tadjudin.

            Pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal. Kebijakan pengusahaan hutan cenderung membela pencapaian target kuantum produksi kayu gelondongan. Sementara itu instrumen untuk memelihata kelestarian lingkungan tidak berjalan secara efektif, sehingga kerusakan terus terjadi. Praktek pengelolaan hutan saat ini sarat dengan persengketaan. Persengketaan dapat terjadi pada tataran presepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan dan akuan terhadap hak kepemilikan. Intensitas sengketa pun beragam diantaranya, perbedaan, ketidaksetujuan, protes, penentangan, perusakan sampai dengan pertikaian. Persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirarki yang linier : tatanilai, hak kepemilikan, dan model pengelolaan. Ketiga hal tersebut tentunya tidak akan terlepas dari 3 pelaku utama yaitu pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.
Empat pilar penting pengakuan hak antara lain common poll resources (masyarakat merdeka dengan pengelolaan dengan cara sendiri), state property (sumber daya dikuasai oleh negara), private property (pengelolaan sumber daya diserahkan ke swasta), dan common property(pengelolaan sumber daya milik negara dan swasta). Banyak model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, namun implementasi bangsa kita cenderung selalu ada bias. Jika kita bisa menggabungkan kontrol pemerintah dan masyarakat dan dalam posisi yang sederajat, maka akan ada kolaborasi yang ideal. Manajemen kolaboratif inilah yang merupakan pilihan yang paling masuk akal dimana tercipta perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumber daya hutan alam produksi yang mencegah terdegradasinya hutan sebagai “sumber daya terbuka”.
Kelembagaan pengelolaan hutan alam produksi masyarakat dibangun diatas fondasi karakteristik masyarakat pengguna dan masyarakat di sekitarnya. Namun, dalam implikasinya setiap upaya yang dilakukan untuk penyeragaman bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan dalam produksi di Indonesia tidak menghasilkan hal yang realstik. Tujuan pengelolaan hutan produksi untuk mencapai hasil akhir efisiensi, keadilan dan kepatutan, keberlanjutan dan pemeliharaan keanekaragaman sumberdaya hayati. Untuk itu dibutuhkan suatu unsur-unsur pokok kelembagaan antara laian batas yuridiksi yang mencakup sumberdaya hutan dan penggunaannya, aturan main yang mencakup spektrum permasalahan yang luas dan aturan perwakilan yang mencakup tatacara aturan main itu dioperasikan.

Resume Kehidupan Suku Dayak Kenyah dan Modang Dewasa Ini Inventaris Sebuah Proses Pemiskinan



Kehidupan Suku Dayak Kenyah dan Modang Dewasa Ini
Inventaris Sebuah Proses Pemiskinan

Daerah Suku Dayak Kenyah dan Modang berada di wilayah Kecamatan Ancalong, di sebelah kiri Sungai Kelinjau, anak Sungai Mahakam. Suku Kenyah dan Modang awalnya satu suku, namun semua berubah setelah adanya pengarug agama kristian tahhun ’30-an oleh misionaris Belanda. Kejutan sosial paling dahsyat sejak mereka keluar dari daerah asalnya adalah dari sektor ekonomi. Kepala keluarga rata-rata menghasilkan 200-400 bek padi ‘a 400-600 rp. Mereka sangat bergantung pada perahu pedagang dengan tengkulak-tengkulak dari kota atau kecamatan setempat yang mempermainan harga pasar. Akibatnya, penjualan hasil pertanian penduduk dayak menjadi tidak berarti dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Disamping itu, Sektor kebudayaan dalam kehidupan suku dayak pun mengalami kegoncangan. Fenomena yang menyolok dalam masalah ini adalah musnahnya Lamin. Lamin yang merupakan manifestasi dari kata pemerintahan serta merupakan titik sentral dari aktivitas kehidupan mereka dalam ruang penghayatan kebersamaan yang eksistensial, akhirnya teredusir menjadi bangunan megah yang mati karena setiap keluarga saat ini memiliki rumahnya sendiri-sendiri. Dimensi religius serta nilai-nilai sosial dan peristiwa kesenian yan tadinya berjalan sehari-hari dalam aktivitas kehidupan merekan pun kini tergilas oleh orientasi ideal yang berlandaskan sistem nilai kebudayaan kota.
Proses pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan di tiap sisi kehidupan, bukan hanya masalah kemiskinan yang umumnya diidentifisir dai sektor ekonomi. Mereka menjual kebuadayaan mereka yang laku kepada orang kota. Titik ekstrimnya mereka menjadi pengemis dihadapan turis-turis asing seperti yang terjadi pada penduduk Nias dan Trunyan (Bali).
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa yang terjadi pada suku dayak saat ini tidak lain dari sebuah proses pemusnahan eksistensi sekelompok manusia dalam dimensi masalah kultural. Ini yang menyeret mereka ke dalam bencana yang lebih tragis jika dibandingkan dengan kemiskinan yang terjadi di beberapa desa di Bali atau Jawa dimana mereka masih dapat bergerak dalam kerangka kehidupan nilai-nilai budaya mereka sendiri meskipun tingkat kehidupan ekonomi mereka sangat rendah.
Terciptanya semua masalah itu, baik yang terjadi secara mikro di desa ataupun secara makro di Negara ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih berada dalam kondisi arkhanis, tidak ada yang superior antara yang satu dengan yang lainnya.